Kamis, 07 Juni 2012

varian Agama ditengah perkembangan ilmu sains


Alfiatus Syarofah
Moch Ismail

VARIAN AGAMA DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU (SAINS)
Abstrak: Apakah sains telah menyebabkan agama tidak masuk akal lagi secara intelektual? Apakah sains itu menyingkirkan adanya Tuhan yang personal? Ini adalah sebagian pertanyaan yang menunjukkan masalah sains dan agama. Dimana sains seakan-akan mengeser kemapanan posisi agama di dalam kehidupan manusia, dan membuat mereka lalai akan agama sebagai konsekuensi majunya dan berkembangnya sains dan teknologi.  
Diskursus antara agama dan sains memang sudah lama diperdebatkan oleh para  ilmuwan (saintis) begitu juga oleh para agamawan (teolog), baik dari hubungan keduanya maupun problem yang menjadikan keduanya tidak dapat berkolaborasi, berintegrasi. Pasalnya ada yang beranggapan bahwa keduanya saling bertolak belakang, mereka menolak mentah-mentah sains. Alasan golongan ini Berangkat dari sejarah kelam yang terjadi di dalam tubuh sains Barat, sebut saja kasus ilmuwan Barat seperti galileo galilei, baruch spinoza, dan giordano bruno. Mereka dikutuk, diburu, dikurung, diinterogasi dan bahkan dibunuh. Golongan ini mengagas sekulerisasi demi mencapai kemajuan seperti di Barat. Bahkan, umat Islam yang membaca kemajuan Barat sebagai solusi mengatasi kemunduran sains Islam, menggagas sekulerisasi juga.
Terlepas dari hubungan agama dan sains, tidak dapat dipungkiri, bahwa sains (ilmu) telah membawa manusia menuju dunia yang penuh kemapanan. Bagaimana tidak, di setiap lini kehidupan manusia dewasa ini baik politik, ekonomi, sosial, bahkan agama sendiri tidak terlepas dari bantuan sains. Komputerisasi sudah menjadi hal wajib untuk dilakukan manusia di seluruh kehidupannya. Namun, jika mengingat hubungan keduanya di berbagai agama-agama sangatlah bermacam-macam. Bagi agama Islam, sains berdampak pada keimanan seorang hamba terhadap kekuasaan Tuhannya, semakin ia menemukan bukti-bukti kekuasaan Tuhannya, maka semakin bertambah dan kuat pula keimanannya, inilah pandangan integrasi agama dan sains yang dipakai umat Islam.
Artikel ini mencoba mengurai benang kusut problematika hubungan agama dan sains. Kemudian penulis juga menawarkan resep yang mungkin bisa digunakan untuk mengintregasikan antara sains dan agama.
Keywords: Agama, sains, relasi, agama mainstream, agama baru.
A.  KEGELISAHAN AKADEMIS SEPUTAR RELASI VARIAN-VARIAN AGAMA DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU (SAINS)
1.      Pengertian Agama dan Sains
Sebelum membahas hubungan agama dan sains, kita mengartikan makna agama dan sains terlebih dahulu. Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi.[1]
Kata ”agama” berasal dari bahasa sangsekerta mempunyai beberapa arti. Satu pendapat mengatakan bahwa agama berasal dari dua kata, yaitu a dan gam yang berarti a = tidak, sedangkan gam = kacau, sehingga berarti tidak kacau (teratur).[2] Ada juga yang mengartikan a = tidak, sedangkan gam = pergi, berarti tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun.[3]
Prof. Dr. H. Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[4]
Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah:
- Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa
- Memepunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan petunjuk.
Sedangkan makna sains dalam bahasa Inggris kata science berasal dari kata Latin scientia yang berasal dari kata scire yang berarti mengetahui atau belajar. The Liang Gie mengatakan bahwa ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Sains  (ilmu) dapat dibedakan menurut maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode.[5]
2.      Empat Tipologi Hubungan Sains & Agama
Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.[6]
a.      Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang berseberangan. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja. Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja yang kita kenal dengan teori Heliosentris dan menentang penafsiran bibel secara harfiah (literalisme biblikal).[7] Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi Mahzar berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius secara dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubungan matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis Barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.[8]
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.[9]
b.      Independensi
Tidak semua saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas yang lain antara sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama.
Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam hal itu dalam pandangan yang lebih komplementer.[10]   
c.       Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi.
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan. Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.           
d.      Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.[11]
Armahedi Mahzar mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.[12]
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini.[13]
Para saintis tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta. 
Setelah mengetahui pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama, penulis lebih mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif sepadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas sains memiliki konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai fenomena alam dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi problematika modernitas sains di tengah pesatnya perkembangan teknologi.
c.       Sains dan agama: Mengatasi Persoalan Problematis
Akibat dari kesalahan historis yang monumental hubungan antara sains dan agama sering disalah pahami oleh siswa, dengan keyakinan bahwa keduanya tidak sejalan. Ini pokok kebingungan ini lazim kita temukan dalam delapan pernyataan yang sangat sering diucapkan oleh siswa di inggris (biasanya non-Muslim, tapi sebagian muslim juga).
Delapan pernyatan itu adalah sebagai berikut:[14]
1.      Jika Tuhan ada, kamu harus bisa membuktikan secara ilmiah        
perkiraan bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan secara ilmiah, adalah kesalahan yang terjadi. Sains tidak berkepentingan menjawab masalah ketuhanan. Sarana, tujuan dan perencanaan di alam semesta bukanlah hal yang disuarakan oleh sains. Berbagai macam metode sains tidak mampu menjawab persoalan ini, jawaban yang sebenarnya harus dicari diluar sains.
2.      Manusia tidak lebih dari sekedar sebuah mekanisme kemiawi yang sangat rumit
sekalipun benar manusia adalah mekanisme kimia yang sangat kompleks, tetapi ketika kata “tidak lebih atau sekedar” masuk ke dalam kalimat, maka pernyataan ini menjadi salah. Karena kimia tidak mengenal kejujuran, kasihan, kepercayaan. Padahal manusia memiliki semua itu.
3.      Penjabaran ilmiah sekaligus keagamaan dari peristiwa yang sama tidak bisa diterima
sudah menjadi kesepakatan umum, untuk mengkaji objek atau peristiwa diperlukan berbagai jalan dan cara. Adalah sains salah satu cara tersebut, namun perlu disadari sains tidak bisa menjawab objek tersebut secara holistik.  Sains menggangap objek dan peristiwa sepenuhnya berada dalam kerangka berat, volume, dan komposisi kimia dan ia tidak berbicara sedikit pun mengenai asal mula dan tujuan prosesnya. Agamalah yang mengambil peran untuk itu.
4.      Jika kehidupan berasal dari Tuhan, ilmuwan tidak akan mampu menemukan proses keberadaannya.
Inilah pernyataan yang dibantah oleh penumuan-penemuan sains, dimana semakin banyak pembuktian semakin menjauhkan mereka dari agama mereka. Proses kejadian petir dan kilat misalnya, sebelumnya mereka menggangap bahwa keduanya adalah dari Tuhan, namun ketika lahir penemuan bahwa keduanya berasal aliran elektron yang menyebabkan memanasnyaudara semakin cepat. Inilah yang mengusik para pendeta di Barat terhadap penemuan saintis.
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan muslim, karya-karya sains mereka semakin menambah keimanan terhadap Tuhan mereka.     
5.      Pernyataan “Tuhan menciptakan manusia” dan “manusia adalah hasil dari proses evolusi” tidak perlu dipertentangkan lagi.     
pernyataan bahwa manusia adalah hasil dari proses evolusi sering dilontarkan oleh saintis Barat, mereka tidak menyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia seketika. Alam semesta menurut mereka berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur, inilah sebagian pendapat yang membedakan antara saintis Barat dan saintis muslim. Dimana saintis muslim menggabungkan antara intuisi dan logika, sedangkan saintis Barat hanya berpegang pada logika saja.
6.      Keyakinan agama dapat dijabarkan dalam kerangka psikologis     
memang keyakinan agama bisa dijelaskan dalam kerangka psikologis. Namun ketika psikologis modern melangkah pada ranah “menghilangkan keyakinan agama” maka kita harus meluruskan hal ini. Keyakinan agama bukan hanya bertujuan untuk menenangkan hati dan jiwa saja, tapi lebih dari itu. Agama merupakan suatu aturan yang menuntun manusia ke jalan yang di ridhoiNya. Menghilangkan agama hanya karena penjabaran teoritis tentang peran dan tujuannya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan.
7.      Asal mula hukum-hukum sains menyebabkan mukjizat dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin adanya     
perlu ditekankan disini, bahwa sains hanya sebatas menringkas, menguraikan, menggambarkan alam berperilaku sebagaimana biasanya. Kenyataan bahwa kebanyakan perilaku rentan pada deskripsi semacam ini tidak meniadakan kemungkinan pengecualian.
Hukum gerakan newton misalnya ketika dihadapkan pada partikel-partikel yang sangat kecil yang bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka mekanika newton mencapai batasnya juga, begitu juga relativitas Enstein dan fisika quantum. maka, peristiwa-peristiwa mengagumkan yang terjadi di sepanjang masa para nabi dan rasul –menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, atau membacakan ayat-ayat wahyu yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia- tidak bisa dipahami dalam kerangka penerapan hukum fisika, namun peristiwa tersebut tetap terjadi. Bukan berarti hukum fisika dilanggar, tapi peristiwa ini adalah teka-teki yang berada di luar jangkaun wilayah penerapan fisika.[15]
        
8.      Keyakinan tidak berperan dalam sains           
Mereka yang mengira bahwa keyakinan tidak berperan adalah anggapan yang keliru. secara implisit sains mempercayai bahwa segala sesuatu yang belum diketahui dapat diprediksi dari dari sesuatu yang sudah diketahui. Ini ditunjukkan dari rumus (formula) yang diambil dari eksperimen sebelumnya untuk memprediksi objek yang diteliti. Sebelum ilmuan mengkaji alam semesta, ia juga harus mempunyai keyakinan pada komprehensibilitas alam semesta. Artinya, alam semesta itu bisa dimengerti dan dipahami jika setelah ilmuan yakin bahwa alam semesta bisa diteliti.   

B.     LATAR SOSIO-ANTROPOLOGIS KEMUNCULAN VARIAN-VARIAN AGAMA
Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Lahirnya “Agama baru“ tidak akan pernah lepas dari tradisi-tradisi agama induk (mainstream).
Ada yang berpendapat bahwa kelompok-kelompok yang merasa kurang ”nyaman” dan tepat mendapatkan makna ”agama” hal ini menjadikan orang-orang menempatkan posisi ini dengan membentuk gerakan atau pola pemahaman yang baru. Karenanya tidak mengherankan apabila pada dekade akhir-akhir ini di Indonesia selalu dimarakkan oleh tampilnya atau munculnya agama-agama baru (aliran-aliran atau paham-paham keagaman baru).
Berpijak dari pemikiran Murtadha Muthahhari tentang latar belakang atau asal-usul agama yang menjelaskan bahwa agama lahir dilatar belakangi oleh pendambaan akan keadilan dan keteraturan, maka lahirnya agama-agama baru merupakan kondisi yang alamiah. Munculnya sejumlah gerakan-gerakan bentuk keagamaan baru di luar tradisi agama mainstream, seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan lain sebagainya memicu pro dan kontra. Di satu sisi ia dianggap penyimpangan dari arus utama tradisi agama yang telah mapan, sementara di sisi lain ia justru dianggap sebagai respon terhadap agama mainstream yang dianggap tidak lagi berpihak kepada para pencari kenikmatan spritualitas (spirituality seekers). Para pencari kenikmatan spritualitas itu beranggapan bahwa agama-agama mainstream telah gagal memberi ruang bagi perkembangan spritualitas.[16]
Respon publik terhadap kelahiran mereka memang beragam. Tapi yang penting dicatat, khusus di Indonesia kelahiran praktek-praktek keagamaan terkait dengan adanya 2 kondisi penting yang saling berpengaruh, yaitu:
1.   Menguatnya semangat konservatisme Islam
2. Terbukanya iklim kebebasan beragama pasca runtuhnya rezim Orba.
Tetapi iklim kebebasan yang muncul seiring keruntuhan rezim lama itu, juga menjadi faktor yang tidak bisa dinafikan bagi kelompok-kelompok konservatif bahkan radikal. Akibatnya kebebasan mengekspresikan tidak hanya terjadi pada level sosial dan teologis, perdebatan tentang lahirnya praktek-praktek keagamaan baru juga sudah menjadi perdebatan dalam tradisi akademis. Secara sosiologis fenomena ini sangat mungkin dihubungkan dengan berkembangnya kebebasan berekspresi dalam beragama. Sejumlah teoretisi seperti Gordon Melton, Peter Clarke dan Greenfield selalu menghubungkan gejala ini dengan semangat untuk keluar dari dominasi penafsiran dan ekspresi keagamaan kelompok tertentu atau tepatnya agama yang mainstream.[17]
Greefield mengatakan lebih jauh bahwa kelahiran keagamaan baru itu tidak akan pernah lepas dari tradisi-tradisi agama induk (mainstream). Hal ini dipahami sebagai sekelompok aktor (orang dalam suatu komunitas) yang sama-sama mempunyai paradigma transcendental dalam beragama, sebagai hasil swa-pemahaman mereka terhadap doktrin agama tertentu. Biasanya mereka menawarkan sebuah pandangan dunia baru yang menggabungkan elemen-elemen global dan lokal, tradisional dan inovasional serta reflektif dan praktis.
Pendapat Murtadha Muthahhari bahwa motivasi keterikatan manusia kepada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan”agama” dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya, merupakan jawaban akan munculnya agama-agama baru di negeri ini. Dalam ke-seharian kita disebut dengan aliran-aliran yang menyesatkan. Inilah satu sisi fenomena jawabannya.[18]        





C.   KARAKTERISTIK AGAMA MAINSTREAM (MURNI)
Agama murni (samawi) adalah agama yang turun dari langit, kata samawi mengacu pada arti langit, diturunkan melalui wahyu, buka sekedar kata-kata ghaib atau magis, melainkan berisi hukum dan undang-undang yang mengatur semua tatanan hidup manusia, mulai dari masalah yang paling kecil hingga yang paling besar. Dari masalah mikro sampai masalah makro. Agama samawi tidak menciptakan sendiri ajarannya, tetapi menerima ajaran itu dari atas langit. Berbeda dengan agama ardhi, dimana ajarannya memang diciptakan, disusun, dibuat dan diolah oleh sesama makhluk penghuni bumi yaitu manusia.[19]
1.      Bukan tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat
Agama samawi tidak diciptakan oleh manusia lewat kontemplasi atau perenungan. Berbeda dengan agama Budha, yang diciptakan oleh Sidharta Gautama. Sang Budha konon dahulu duduk merenung di bawah pohon Bodi, lalu mendapatkan temuan-temuan berupa nilai-nilai kehidupan, yang kemudian dijadikan sebagai dasar agama itu.
Demikian juga, agama samawi sangat jauh berbeda dengan konsep pengertian agama menurut beberapa ilmuwan barat, yang memandang bahwa asalkan sudah mengandung pengabdian kepada suatu kekuatan tertentu, atau ada ajaran tertentu, atau ada penyembahan tertentu, maka sudah bisa disebut agama.
Umumnya para ilmuwan barat cenderung menganggap sebuah aliran kepercayaan, spiritulisme tertentu serta nilai-nilai tertentu sebagai sebuah agama. Sementara konsep agama samawi adalah sebuah paket ajaran lengkap yang turun dari langit. Kata samawi mengacu kepada arti langit, karena Tuhan itu ada di atas langit menurunkan wahyu. Wahyu bukan sekedar kata-kata ghaib atau magis, melainkan berisi hukum dan undang-undang yang mengatur semua tatanan hidup manusia, mulai dari masalah yang paling kecil hingga yang paling besar. Dari masalah mikro sampai masalah makro.
2.      Disampaikan oleh manusia pilihan Allah, utusan itu hanya menyampaikan bukan menciptakan
Karena agama samawi datang dari Tuhan yang ada di langit, dan Tuhan tidak menampakkkan diriNya secara langsung, maka agama samawi mengenal konsep keNabi an. Fungsi dan tugas Nabi  ini adalah menyampaikan semua kemauan, perintah, aturan, syariah, undang-undang dari Tuhan kepada umat manusia. Seorang Nabi  tidak diberi wewenang untuk menciptakan ajaran sendiri. Nabi  bukan manusia setengah dewa, maka tidak ada konsep penyembahan kepada Nabi .
Dalam konsep agama samawi, seorang Nabi  hanyalah seorang manusia biasa. Dia bisa lapar lalu makan, dia bisa haus lalu minum, dia juga bisa berhasrat kepada wanita lalu dia menikah. Namun di balik semua sifat kemanusiaannya, seorang Nabi  mendapat wahyu dari langit. Serta mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dari langit agar tidak melakukan kesalahan.
Satu lagi fungsi seorang Nabi  yang tidak boleh dilupakan, yaitu sosok diri seorang Nabi  dijadikan suri tauladan, contoh hidup yang nyata, dan model untuk bisa ditiru oleh manusia.
3.      Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia
Perbedaan lainnya lagi antara agama samawi dan agama ardhi adalah bahwa tiap agama samawi memiliki kitab suci yang turun dari langit. Kitab suci itu datang langsung dari Tuhan, bukan hasil ciptaan manusia. Diturunkan lewat malaikat Jibril alaihissalam, kepada para Nabi . Lalu para Nabi  mengajarkan isi wahyu itu kepada umatnya. Jadilah kumpulan wahyu itu sebagai kitab suci. Itu adalah proses turunnya Al-Quran. Atau bisa jadi Allah SWT menurunkan kitab itu sekaligus dalam satu penurunan, seperti yang terjadi para kitab-kitab suci yang turun kepada Bani Israil.
Sedangkan agama ardhi seperti Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan lainnya, meski juga punya kitab yang dianggap suci, namun bukan wahyu yang turun dari langit. Kitab yang mereka anggap suci itu hanyalah karangan dari para pendeta, rahib, atau pun pendiri agama itu. Bukan wahyu, bukan firman, bukan perkataan Tuhan.
Dari sisi isi materi, umumnya kitab suci agama samawi berisi aturan dan hukum. Kitab-kitab itu bicara tentang hukum halal dan haram. Adapun kitab suci agama ardhi umumnya lebih banyak bicara tentang pujian, kidung, nyanyian, penyembahan.
4.      Konsep tentang Tuhannya adalah tauhid
Kepercayaan bangsa-bangsa di Eropa pun tidak kalah serunya terhadap konsep dewa-dewa ini. Semua bintang di langit dianggap dewa, diberi nama dan dikait-kaitkan dengan nasib seseorang. Kemudian ada dewa senior di gunung Olympus, Zeus namanya. Dewa ini punya anak, setengah dewa tapi setengah manusia, Hercules namanya. Lalu para dewa itu bertindak-tanduk seperti manusia, bahkan hewan. Ada yang perang, ada yang berzina, ada yang mabuk-mabukan bahkan ada dewa yang kerjaannya melacurkan diri.
Kepercayaan bangsa Romawi kuno hingga hari ini masih saja berlangsung di masyarakat barat, mereka masih sangat kental mempercayai adanya dewa-dewa itu.
Agama samawi datang kenolak semua konsep Tuhan banyak dan beranak pinak. Dalam konsep agama samawi, Tuhan hanya satu. Dia Maha Sempurna, tidak sama dengan manusia, Maha Agung dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Selain Tuhan yang satu, tidak ada apa pun yang boleh disembah. Maka tidak ada paganisme (paham kedewaaan) dalam agama samawi.
D.   KARAKTERISTIK AGAMA ARDHI
1.      Agama Diciptakan oleh Tokoh Agama
Tidak ada lagi konsep bahwa agama itu berasal dari Tuhan, sebab para pemuka agama baik pendeta, rahib, atau pun tokoh spiritul mereka telah mulai membuat sendiri agama itu, tambahan demi tambahan di sana sini mulai dibuat. Pengurangan-pengurangan juga acap dilakukan. Walhasil, dalam waktu yang singkat, agama nasrani dan yahudi sudah bukan lagi bersifat samawi, karena nyaris sudah dipermak habis-habisan oleh para tokohnya.
Allah subhanahu wata’ala tegas sekali menyatakan bahwa apa dilakukan oleh umat nasrani dan yahudi itu sama saja dengan menyembah para tokoh agama.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS. At-Taubah: 31)
Para tokoh agama nasrani dan yahudi dilaknat oleh Allah karena mereka punya kebiasan mengubah isi kitab suci. Dan umat Islam tidak terlalu diminta untuk berharap terlalu banyak dari umat nasrani dan yahudi untuk beriman.
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (QS. Al-Baqarah: 75)
2.      Menyembah Nabi  dan Orang Shalih
Penyimpangan berikutnya adalah umat nasrani dan yahudi sudah tidak lagi menyembah Allah yang Esa, tetapi menambahi satu lagi sebagai Tuhan baru (junior), yaitu Nabi  mereka sendiri.
Konsep keNabi an agama samawi telah mereka hancurkan, diganti dengan konsep penyembahan kepada orang suci. Maka dibuatlah patung-patung para Nabi  dan orang-orang shalih. Patung itu semula hanya sekedar untuk pengingat, namun beberapa generasi berikutnya mulai memberikan takzhim, penghormatan hingga berakhir dengan penyembahan.
Ketika Nabi  Muhammad SAW dilahirkan di Makkah tahun 570 Masehi, di seputar ka’bah sudah bertengger 360 patung para Nabi  dan orang shalih. Dari mana datangnya patung-patung yang disembah?
Awalnya datang dari negeri Yaman yang saat itu berpenduduk nasrani. Umat nasrani sedunia 500-an tahun setelah ditinggalkan oleh Nabi  Isa alaihissama, sudah menjadi penggemar penyembahan patung Nabi  dan orang shalih mereka.
Dari mana datangnya penyembahan patung di kalangan umat nasrani?
Datang dari Eropa, ibukota dan surga para dewa sesembahan. Patung dan penyembahan berhala datang dari Eropa para saat negeri Eropa didatangi oleh agama nasrani yang masih bersih dari bumi Palestina.
Sayang sekali, agama nasrani ini meski diterima di Eropa, namun nasibnya apes sekali. Alih-alih mentauhidkan bangsa Eropa, agama ini malah diberhalakan di Eropa. Masuklah paham keberhalaan khas Eropa dan diasimilasi di dalam agama nasrani. Sampai 300 tahun kemudian, resmilah Nabi  Isa naik pangkat menjadi Tuhan dalam pemahaman agama ini. Lalu bunda Mariam yang di dalam Quran disebutkan sebagai wanita yang suci dan beriman, juga ikut-ikutan dijadikan Tuhan, disembah dan dipatungkan.
Ketika Al-Quran turun 200 tahun kemudian, vonis Allah kepada agama dan orang-orang nasrani yang berpaham Polytheisme ini tegas dan jelas: KAFIR.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam", padahal Al-Masih berkata, "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maidah: 72)
Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(QS. Al-Maidah: 73)
3.      Memalsu Kitab Suci
Kitab suci Injil yang asalnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, lama kelamaan berubah isinya menjadi karangan Petrus, Yohanes, Markus, Lukas, dan lainny. Bukan lagi firman Allah tetapi karangan manusia.
Kitab itu lalu diperdebatkan keotentikannya oleh mereka sendiri, maka berdirilah sekte-sekte yang saling berbeda. Muncul aliran-aliran gereja yang saling mengkafirkan.
Awalnya bermula dari tidak adanya naskah asli Injil. Yang ada hanya catatan-catatan yang tidak pernah terjaga keasliannya. Ditambah lagi ciri khas para pemuka agama nasrani yang punya hobi membuat tambahan, sisipan, bahkan sampai menghapus naskah asli, demi sekedar kepentingan pribadi.
Demikian sedikit penjelasan tentang agama samawi dan agama ardhi serta malapetaka yang menimpa pada agama samawi, yahudi dan nasrani. Adapun agama Islam, tetap kokoh, konsisten, konsekuen dan mantap dalam karakteristiknya sebagai agama samawi. Tidak ada penciptaan agama, tetapi agama itu datang dari Allah 100 persen, tidak ada penambahan dan pemalsuan kitab suci, tidak pernah menyembah Nabi, juga tidak pernah menduakan Allah.

E.     TIPOLOGI AGAMA BARU
Agama adalah fenomena sosial, agama juga tidak hanya ritual atau hanya menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, akan tetapi juga fenomena diluar kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama namun tidak melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Diluar itu semua, kita sering menyaksikan dalam kondisi tertentu –semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah—manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya.
            Agama berasal dari kata latin Religio, yang berarti Obligation atau kewajiban. Agama dalam encyclopedia of philoshopy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunya hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)[20].
            Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (edward Caird)[21].
            Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita, (F.H Bradley)[22].
            Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan peribadatan[23].
            Pertama, agama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mensugesti esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal atau pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang[24].
            Kedua, adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan[25].
            Tidak ada satupun definisi tentang agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical notion. Sebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasan tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion[26].
            Menurut Oxford English Dictionary, religion represent the human recognition of super human controlling power and especially of a personal God or Gods entitle to obedience and worship, agama menghadirkan manusia yang kehidupannya dikontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
            Dari penjelasan diatas tentang beberapa definisi agama telah meyakinkan kita bahwa agama adalah sebuah kepercayaan, ada yang dianut dan ada yang menganut. Di dalam Islam sendiri telah beragam kepercayaan yang mengatasnamakan Islam dan berkiblat kepada Al-Quran, salah satunya (agama/aliran) Muhammadiyah, Nu, Ahmadiyah, Lia Eden, dll. Namun, agama 2 terakhir disini menimbulkan kontroversi, sehingga dilabeli agama sesat. Berikut dibawah akan kami ulas tentang tipologi dari masing-masing agama baru yang muncul dari akar yang sama yakni Islam.    
1.      Ahmadiyah
Ahmadiyah adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900, yang dibentuk olehpemerintah kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agama Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran atau bentuk khusus sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah Majalah Al-Adyan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Mirza Ghulam Ahmad hidup pada tahun 1835-1908. Dia dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah Punjab, India, tahun 1835. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan senantiasa menaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya, dia dikenal sebagai orang yang suka menghasut atau berbohong, berpenyakit dan pencandu narkotik.
Pemerintah koloni Inggris banyak berbuat baik kepada mereka sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada Pemerintah koloni Inggris. Di antara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlul Hadis di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.
Ketika Mirza Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama) agar Allah mematikan siapa yang berdusta di antara mereka dan yang benar tetap hidup. Tidak lama setelah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908.
Pada awalnya, Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain sehingga berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud. Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi Muhammad SAW.[27]
2.      Lia Eden
Lia Eden kembali berurusan dengan aparat kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik agama. Nah bagi anda yang mungkin saja belum tahu siapa Lia Eden yang membuat fenomena tersebut kami akan memberikan sekilas biografi Lia Eden. Lia Aminuddin atau lebih dikenal sebagai Lia Eden lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 21 Agustus 1947 adalah pemimpin kelompok kepercayaan bernama Kaum Eden yang kontroversial. Ibunya bernama Zainab, dan bapaknya bernama Abdul Ghaffar Gustaman, seorang pedagang dan pengkhutbah Islam aliran Muhammadiyah. Pada umur 19 tahun, Lia menikah dengan Aminuddin Day, seorang dosen di Universitas Indonesia dan dikaruniai empat orang anak.
Pada awalnya dia adalah seorang ibu rumah tangga yang menempuh pendidikan hanya sampai jenjang SMA dan sebelumnya mempunyai profesi sebagai perangkai bunga bahkan pernah mempunyai acara tampilan khusus mengenai merangkai bunga di TVRI.

Pengakuan Bertemu dengan Malaikat Jibril        
Menurut Lia, peristiwa ajaibnya yang pertama adalah sewaktu dia melihat sebuah bola bercahaya kuning berputar di udara dan lenyap sewaktu baru saja ada di atas kepalanya. Hal ini terjadi sewaktu dia sedang bersantai dengan kakak mertuanya di serambi rumahnya di Senin pada 1974.
Menurutnya lagi, peristiwa ajaib kedua yang telah megubah prinsip hidupnya berlaku pada malam 27 Oktober 1995 kala dia sedang sholat. Pada masa itu, dia telah merasakan kehadiran pemimpin rohaninya, Habib al-Huda yang mengaku dirinya sebagai Jibril pada waktu itu. Setelah itu Lia Eden mengaku dia menerima bimbingan Malaikat Jibril secara terus menerus sejak 1997 hingga kini.
Selama dalam proses pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan dan mendidik Lia Eden melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat, termasuk pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada masyarakat atas perintah Jibril. Proses penyucian itu menurut ia sangat berat dan tak pernah berhenti hingga kemudian Tuhan memberinya nama Lia Eden sebagai pengganti namanya yang lama. Di dalam penyuciannya, ia mengatakan bahwa Tuhan menyatakan Lia Eden sebagai pasangan Jibril sebagaimana ditulis di dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Dan ia mengatakan bahwa dialah yang dinyatakan Tuhan sebagai sosok surgawi-Nya di dunia. 

Pencetus agama baru
Selain menganggap dirinya sebagai menyebarkan wahyu Tuhan dengan perantaraan Jibril, dia juga menganggap dirinya memiliki kemampuan untuk menyembuhkan penyakit. Dia juga telah mengarang lagu, syair dan juga buku sebanyak 232 halaman berjudul, "Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir" yang ditulis dalam waktu 29 hari.
Pada 1998, Lia menyebut dirinya Imam Mahdi yang muncul di dunia sebelum hari kiamat untuk membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu, dia juga memanggil dirinya Bunda Maria, ibu dari Yesus Kristus. Lia juga mengatakan bahwa anaknya, Ahmad Mukti, adalah Yesus Kristus.
Agama yang dibawa oleh Lia ini berhasil mendapat kurang lebih 100 penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini terdiri dari para pakar budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan juga pelajar. Mereka semua dibaptis sebagai pengikut agama Salamullah. Karena Lia merupakan seorang penulis dan pendakwah yang handal, maka ia bisa meyakinkan orang mengenai kebenaran dakwahnya.
Pada bulan Desember 1997, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melarang perkumpulan Salamullah ini karena ajarannya dianggap telah menyelewengkan kebenaran mengenai ajaran Islam. Kumpulan ini lalu membalas balik dengan mengeluarkan "Undang-undang Jibril" (Gabriel's edict) yang mengutuk MUI karena menganggap MUI berlaku tidak adil dan telah menghakimi mereka dengan sewenang-wenang.
Kumpulan Salamullah ini juga terkenal karena serangannya terhadap kepercayaan masyarakat Jawa, mengenai mitos Nyi Roro Kidul yang didewakan sebagai Ratu Laut Selatan. Pada tahun 2000, agama Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai sebuah agama baru. Agama Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir tetapi juga mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain seperti Buddha Gautama, Yesus Kristus, dan Kwan Im, dewi pembawa rahmat yang disembah orang Tionghoa, akan muncul kembali di dunia.
Sejak 2003, kumpulan Salamullah ini memegang kepercayaan bahwa setiap agama adalah benar adanya. Kumpulan yang diketuai Lia Eden ini kini dikenal sebagai Kaum Eden[28].
3.      Nahdlatul Ulama` (NU)
Pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting. Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad. Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama[29]
4.      Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Muhammadiyah kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.



[1] Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Wijaya, Jakarta, 1965, hal. 20
[2] Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam II, Pen. Widjaja, Jkaarta, 1973, hal. 5
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 3, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1985, hal. 5
[4] Prof. Dr. h. Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-
Nida’, Yogyakarta, 1969, hal. 9
[5] Badan Penerbitan Filsafat UGM, Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla Sadra, Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010, hal. 34
[6]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan, 2002, hal. 40
[7] Ibid, hal. 47-50
[9] Ibid, hal. 54
[10] Ibid, hal. 56
[11]  Ibid, hal. 58
[12]  Op, Cit, hari Jumat,  jam  9:27
[13]  Ian G. Barbour, Op, Cit, hal. 59
[14] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996, hal. 135-145
[15] Ibid, hal. 136
[16] Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Mizan, Bandung,
1986, hal. 45
[17]Pradana Boy ZTF,  Agama Baru dan Kebebasan Beragama, Artikel, 1408, 2006
[18]Murtadha Muthahhari, Op Cit, hal. 65
[19] www.yahooanswer.com, diakses pada tanggal 24 november 2011, pukul 10.35
[20] Jalaluddin rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Mizan 2004. Hal 50.
[21] Ibid, hal 51.
[22] Ibid, hal 50
[23] Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, penerbit Martiana Bandung, hal 17
[24] Ibid, hal 17
[25] Ibid, hal 17
[26] H. Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu , Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979, Hal 111
[27] http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819/Ahmadiyah.Islam.atau.Bukan
[28] http://suaramerdeka.com: diakses pada tanggal 25 November 2011, pukul 17.35
[29] http://id.shvoong.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar