Alfiatus Syarofah
Moch Ismail
VARIAN
AGAMA DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU (SAINS)
Abstrak: Apakah
sains telah menyebabkan agama tidak masuk akal lagi secara intelektual? Apakah
sains itu menyingkirkan adanya Tuhan yang personal? Ini adalah sebagian
pertanyaan yang menunjukkan masalah sains dan agama. Dimana sains seakan-akan
mengeser kemapanan posisi agama di dalam kehidupan manusia, dan membuat mereka
lalai akan agama sebagai konsekuensi majunya dan berkembangnya sains dan
teknologi.
Diskursus
antara agama dan sains memang sudah lama diperdebatkan oleh para ilmuwan (saintis) begitu juga oleh para
agamawan (teolog), baik dari hubungan keduanya maupun problem yang menjadikan
keduanya tidak dapat berkolaborasi, berintegrasi. Pasalnya ada yang beranggapan
bahwa keduanya saling bertolak belakang, mereka menolak mentah-mentah sains.
Alasan golongan ini Berangkat dari sejarah kelam yang terjadi di dalam tubuh
sains Barat, sebut saja kasus ilmuwan Barat seperti galileo galilei, baruch
spinoza, dan giordano bruno. Mereka dikutuk, diburu, dikurung, diinterogasi dan
bahkan dibunuh. Golongan ini mengagas sekulerisasi demi mencapai kemajuan
seperti di Barat. Bahkan, umat Islam yang membaca kemajuan Barat sebagai solusi
mengatasi kemunduran sains Islam, menggagas sekulerisasi juga.
Terlepas
dari hubungan agama dan sains, tidak dapat dipungkiri, bahwa sains (ilmu) telah
membawa manusia menuju dunia yang penuh kemapanan. Bagaimana tidak, di setiap
lini kehidupan manusia dewasa ini baik politik, ekonomi, sosial, bahkan agama sendiri
tidak terlepas dari bantuan sains. Komputerisasi sudah menjadi hal wajib untuk
dilakukan manusia di seluruh kehidupannya. Namun, jika mengingat hubungan
keduanya di berbagai agama-agama sangatlah bermacam-macam. Bagi agama Islam,
sains berdampak pada keimanan seorang hamba terhadap kekuasaan Tuhannya,
semakin ia menemukan bukti-bukti kekuasaan Tuhannya, maka semakin bertambah dan
kuat pula keimanannya, inilah pandangan integrasi agama dan sains yang dipakai
umat Islam.
Artikel
ini mencoba mengurai benang kusut problematika hubungan agama dan sains.
Kemudian penulis juga menawarkan resep yang mungkin bisa digunakan untuk
mengintregasikan antara sains dan agama.
Keywords:
Agama, sains, relasi, agama mainstream, agama baru.
A. KEGELISAHAN AKADEMIS SEPUTAR RELASI
VARIAN-VARIAN AGAMA DI TENGAH PERKEMBANGAN ILMU (SAINS)
1.
Pengertian Agama dan Sains
Sebelum membahas hubungan agama dan
sains, kita mengartikan makna agama dan sains terlebih dahulu. Untuk memberikan
batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena
pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai
suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai
nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang
memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula yang
memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi ada
pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi.[1]
Kata ”agama” berasal dari bahasa
sangsekerta mempunyai beberapa arti. Satu pendapat mengatakan bahwa agama berasal
dari dua kata, yaitu a dan gam yang berarti a = tidak,
sedangkan gam = kacau, sehingga berarti tidak kacau (teratur).[2]
Ada
juga yang mengartikan a = tidak, sedangkan gam = pergi, berarti
tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun.[3]
Prof. Dr. H. Mukti Ali mengatakan bahwa
agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang
diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[4]
Menurut
beliau ciri-ciri agama itu adalah:
- Mempercayai
adanya Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai
kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa
- Mempunyai
rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa
- Memepunyai
hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan petunjuk.
Sedangkan
makna sains dalam bahasa Inggris kata science berasal dari kata Latin scientia
yang berasal dari kata scire yang berarti mengetahui atau belajar. The
Liang Gie mengatakan bahwa ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut
segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Sains (ilmu) dapat dibedakan menurut maknanya,
yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode.[5]
2.
Empat Tipologi Hubungan Sains & Agama
Ian G.
Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka
kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan
tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi
yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini
terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan
Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.[6]
a.
Konflik
Pandangan
konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard
Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini
menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa
sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus
memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan
mengambil posisi-posisi yang berseberangan. Keduanya hanya mengakui keabsahan
eksistensi masing-masing.
Pertentangan
antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal
kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya
dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan
mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum agamawan). Akibatnya, tidak
sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan
kekejaman dari pihak gereja. Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah
hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek
pemikirannya yang dianggap menentang gereja yang kita kenal dengan teori
Heliosentris dan menentang penafsiran bibel secara harfiah (literalisme
biblikal).[7]
Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad
ke-19.
Armahedi
Mahzar berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius
secara dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa
kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya
adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubungan
matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut
paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains.
Sedangkan agama, bagi kalangan saintis Barat dianggap subyektif, tertutup dan
sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena
bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana
halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda
sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.[8]
Jelaslah
bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya
disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama.
Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan
agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian
manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak
saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.[9]
b.
Independensi
Tidak semua
saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada sebagian
yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam dua wilayah
yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas yang lain
antara sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai kebenaran
sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan
dengan damai. Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji,
domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains
berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang
terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi
masing-masing.
Analisis
bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan
kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak
untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi
memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman
religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum
agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah
yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama
yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan
dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum
ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara
sains dan agama.
Barbour
mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari
sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan
pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia
menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya
yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin
yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam
hal itu dalam pandangan yang lebih komplementer.[10]
c.
Dialog
Pandangan
ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih
konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara
sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling
mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan
agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu
bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat
menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Dalam
menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat
Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind :
science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan
tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang
teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa
intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber
dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi.
Penganut
pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif
yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran karakteristik yaitu
koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran
metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk penggunaan
kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti pendapat filosof
Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan
menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data
percobaan. Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran
konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis
menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan
tetap mempertahankan integritas masing-masing.
d.
Integrasi
Pandangan
ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan
mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin
keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan
dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan
dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.[11]
Armahedi
Mahzar mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan
wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama
secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan
memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya
adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah
modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama.
Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada
pengalaman subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama
ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi
tentang alam.[12]
Ada beberapa
pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama,
berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan
agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan
kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya
dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan
kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini.[13]
Para saintis
tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara pasti, walaupun
dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu perkembangan
pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat menjelajahi
seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian pengetahuan
tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus. Akhirnya
mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang
dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.
Setelah mengetahui pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama, penulis
lebih mendukung dan mengakomodasi pendekatan integrasi dalam menghubungkan
sains dan Islam, karena dalam hubungan integrasi ini keanekaragaman realitas
yang relatif sepadu dengan Kesatuan Realitas yang Mutlak. Di mana realitas
sains memiliki konvergensi dengan realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai
fenomena alam dan manusia. Tanpa integritas keduanya, manusia akan terus
menghadapi problematika modernitas sains di tengah pesatnya perkembangan
teknologi.
c.
Sains dan agama: Mengatasi Persoalan Problematis
Akibat
dari kesalahan historis yang monumental hubungan antara sains dan agama sering
disalah pahami oleh siswa, dengan keyakinan bahwa keduanya tidak sejalan. Ini pokok
kebingungan ini lazim kita temukan dalam delapan pernyataan yang sangat sering diucapkan
oleh siswa di inggris (biasanya non-Muslim, tapi sebagian muslim juga).
Delapan
pernyatan itu adalah sebagai berikut:[14]
1.
Jika Tuhan ada, kamu harus bisa membuktikan secara
ilmiah
perkiraan bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan secara ilmiah, adalah kesalahan yang terjadi. Sains tidak berkepentingan menjawab masalah ketuhanan. Sarana, tujuan dan perencanaan di alam semesta bukanlah hal yang disuarakan oleh sains. Berbagai macam metode sains tidak mampu menjawab persoalan ini, jawaban yang sebenarnya harus dicari diluar sains.
perkiraan bahwa segala sesuatu dapat dibuktikan secara ilmiah, adalah kesalahan yang terjadi. Sains tidak berkepentingan menjawab masalah ketuhanan. Sarana, tujuan dan perencanaan di alam semesta bukanlah hal yang disuarakan oleh sains. Berbagai macam metode sains tidak mampu menjawab persoalan ini, jawaban yang sebenarnya harus dicari diluar sains.
2.
Manusia tidak lebih dari sekedar sebuah mekanisme
kemiawi yang sangat rumit
sekalipun benar manusia adalah mekanisme kimia yang sangat kompleks, tetapi ketika kata “tidak lebih atau sekedar” masuk ke dalam kalimat, maka pernyataan ini menjadi salah. Karena kimia tidak mengenal kejujuran, kasihan, kepercayaan. Padahal manusia memiliki semua itu.
sekalipun benar manusia adalah mekanisme kimia yang sangat kompleks, tetapi ketika kata “tidak lebih atau sekedar” masuk ke dalam kalimat, maka pernyataan ini menjadi salah. Karena kimia tidak mengenal kejujuran, kasihan, kepercayaan. Padahal manusia memiliki semua itu.
3.
Penjabaran ilmiah sekaligus keagamaan dari peristiwa
yang sama tidak bisa diterima
sudah menjadi kesepakatan umum, untuk mengkaji objek atau peristiwa diperlukan berbagai jalan dan cara. Adalah sains salah satu cara tersebut, namun perlu disadari sains tidak bisa menjawab objek tersebut secara holistik. Sains menggangap objek dan peristiwa sepenuhnya berada dalam kerangka berat, volume, dan komposisi kimia dan ia tidak berbicara sedikit pun mengenai asal mula dan tujuan prosesnya. Agamalah yang mengambil peran untuk itu.
sudah menjadi kesepakatan umum, untuk mengkaji objek atau peristiwa diperlukan berbagai jalan dan cara. Adalah sains salah satu cara tersebut, namun perlu disadari sains tidak bisa menjawab objek tersebut secara holistik. Sains menggangap objek dan peristiwa sepenuhnya berada dalam kerangka berat, volume, dan komposisi kimia dan ia tidak berbicara sedikit pun mengenai asal mula dan tujuan prosesnya. Agamalah yang mengambil peran untuk itu.
4.
Jika kehidupan berasal dari Tuhan, ilmuwan tidak
akan mampu menemukan proses keberadaannya.
Inilah
pernyataan yang dibantah oleh penumuan-penemuan sains, dimana semakin banyak
pembuktian semakin menjauhkan mereka dari agama mereka. Proses kejadian petir
dan kilat misalnya, sebelumnya mereka menggangap bahwa keduanya adalah dari
Tuhan, namun ketika lahir penemuan bahwa keduanya berasal aliran elektron yang
menyebabkan memanasnyaudara semakin cepat. Inilah yang mengusik para pendeta di
Barat terhadap penemuan saintis.
Berbeda
dengan ilmuwan-ilmuwan muslim, karya-karya sains mereka semakin menambah
keimanan terhadap Tuhan mereka.
5.
Pernyataan “Tuhan menciptakan manusia” dan “manusia
adalah hasil dari proses evolusi” tidak perlu dipertentangkan lagi.
pernyataan bahwa manusia adalah hasil dari proses evolusi sering dilontarkan oleh saintis Barat, mereka tidak menyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia seketika. Alam semesta menurut mereka berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur, inilah sebagian pendapat yang membedakan antara saintis Barat dan saintis muslim. Dimana saintis muslim menggabungkan antara intuisi dan logika, sedangkan saintis Barat hanya berpegang pada logika saja.
pernyataan bahwa manusia adalah hasil dari proses evolusi sering dilontarkan oleh saintis Barat, mereka tidak menyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia seketika. Alam semesta menurut mereka berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur, inilah sebagian pendapat yang membedakan antara saintis Barat dan saintis muslim. Dimana saintis muslim menggabungkan antara intuisi dan logika, sedangkan saintis Barat hanya berpegang pada logika saja.
6.
Keyakinan agama dapat dijabarkan dalam kerangka
psikologis
memang keyakinan agama bisa dijelaskan dalam kerangka psikologis. Namun ketika psikologis modern melangkah pada ranah “menghilangkan keyakinan agama” maka kita harus meluruskan hal ini. Keyakinan agama bukan hanya bertujuan untuk menenangkan hati dan jiwa saja, tapi lebih dari itu. Agama merupakan suatu aturan yang menuntun manusia ke jalan yang di ridhoiNya. Menghilangkan agama hanya karena penjabaran teoritis tentang peran dan tujuannya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan.
memang keyakinan agama bisa dijelaskan dalam kerangka psikologis. Namun ketika psikologis modern melangkah pada ranah “menghilangkan keyakinan agama” maka kita harus meluruskan hal ini. Keyakinan agama bukan hanya bertujuan untuk menenangkan hati dan jiwa saja, tapi lebih dari itu. Agama merupakan suatu aturan yang menuntun manusia ke jalan yang di ridhoiNya. Menghilangkan agama hanya karena penjabaran teoritis tentang peran dan tujuannya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan.
7.
Asal mula hukum-hukum sains menyebabkan mukjizat
dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin adanya
perlu ditekankan disini, bahwa sains hanya sebatas menringkas, menguraikan, menggambarkan alam berperilaku sebagaimana biasanya. Kenyataan bahwa kebanyakan perilaku rentan pada deskripsi semacam ini tidak meniadakan kemungkinan pengecualian.
Hukum gerakan newton misalnya ketika dihadapkan pada partikel-partikel yang sangat kecil yang bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka mekanika newton mencapai batasnya juga, begitu juga relativitas Enstein dan fisika quantum. maka, peristiwa-peristiwa mengagumkan yang terjadi di sepanjang masa para nabi dan rasul –menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, atau membacakan ayat-ayat wahyu yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia- tidak bisa dipahami dalam kerangka penerapan hukum fisika, namun peristiwa tersebut tetap terjadi. Bukan berarti hukum fisika dilanggar, tapi peristiwa ini adalah teka-teki yang berada di luar jangkaun wilayah penerapan fisika.[15]
perlu ditekankan disini, bahwa sains hanya sebatas menringkas, menguraikan, menggambarkan alam berperilaku sebagaimana biasanya. Kenyataan bahwa kebanyakan perilaku rentan pada deskripsi semacam ini tidak meniadakan kemungkinan pengecualian.
Hukum gerakan newton misalnya ketika dihadapkan pada partikel-partikel yang sangat kecil yang bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka mekanika newton mencapai batasnya juga, begitu juga relativitas Enstein dan fisika quantum. maka, peristiwa-peristiwa mengagumkan yang terjadi di sepanjang masa para nabi dan rasul –menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, atau membacakan ayat-ayat wahyu yang tidak dapat ditangkap oleh akal manusia- tidak bisa dipahami dalam kerangka penerapan hukum fisika, namun peristiwa tersebut tetap terjadi. Bukan berarti hukum fisika dilanggar, tapi peristiwa ini adalah teka-teki yang berada di luar jangkaun wilayah penerapan fisika.[15]
8. Keyakinan
tidak berperan dalam sains
Mereka yang mengira bahwa keyakinan tidak berperan adalah anggapan yang keliru. secara implisit sains mempercayai bahwa segala sesuatu yang belum diketahui dapat diprediksi dari dari sesuatu yang sudah diketahui. Ini ditunjukkan dari rumus (formula) yang diambil dari eksperimen sebelumnya untuk memprediksi objek yang diteliti. Sebelum ilmuan mengkaji alam semesta, ia juga harus mempunyai keyakinan pada komprehensibilitas alam semesta. Artinya, alam semesta itu bisa dimengerti dan dipahami jika setelah ilmuan yakin bahwa alam semesta bisa diteliti.
Mereka yang mengira bahwa keyakinan tidak berperan adalah anggapan yang keliru. secara implisit sains mempercayai bahwa segala sesuatu yang belum diketahui dapat diprediksi dari dari sesuatu yang sudah diketahui. Ini ditunjukkan dari rumus (formula) yang diambil dari eksperimen sebelumnya untuk memprediksi objek yang diteliti. Sebelum ilmuan mengkaji alam semesta, ia juga harus mempunyai keyakinan pada komprehensibilitas alam semesta. Artinya, alam semesta itu bisa dimengerti dan dipahami jika setelah ilmuan yakin bahwa alam semesta bisa diteliti.
B.
LATAR SOSIO-ANTROPOLOGIS KEMUNCULAN VARIAN-VARIAN
AGAMA
Agama mempunyai kedudukan yang amat
penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak
dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Lahirnya
“Agama baru“ tidak akan pernah lepas dari tradisi-tradisi agama induk (mainstream).
Ada yang berpendapat bahwa kelompok-kelompok
yang merasa kurang ”nyaman” dan tepat mendapatkan makna ”agama” hal ini
menjadikan orang-orang menempatkan posisi ini dengan membentuk gerakan atau
pola pemahaman yang baru. Karenanya tidak mengherankan apabila pada dekade
akhir-akhir ini di Indonesia selalu dimarakkan oleh tampilnya atau munculnya agama-agama
baru (aliran-aliran atau paham-paham keagaman baru).
Berpijak dari pemikiran Murtadha
Muthahhari tentang latar belakang atau asal-usul agama yang menjelaskan bahwa
agama lahir dilatar belakangi oleh pendambaan akan keadilan dan keteraturan,
maka lahirnya agama-agama baru merupakan kondisi yang alamiah. Munculnya
sejumlah gerakan-gerakan bentuk keagamaan baru di luar tradisi agama mainstream,
seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan lain sebagainya memicu pro dan
kontra. Di satu sisi ia dianggap penyimpangan dari arus utama tradisi agama
yang telah mapan, sementara di sisi lain ia justru dianggap sebagai respon
terhadap agama mainstream yang dianggap tidak lagi berpihak kepada para pencari
kenikmatan spritualitas (spirituality seekers). Para pencari kenikmatan
spritualitas itu beranggapan bahwa agama-agama mainstream telah gagal
memberi ruang bagi perkembangan spritualitas.[16]
Respon publik terhadap kelahiran mereka
memang beragam. Tapi yang penting dicatat, khusus di Indonesia kelahiran
praktek-praktek keagamaan terkait dengan adanya 2 kondisi penting yang saling
berpengaruh, yaitu:
1. Menguatnya semangat konservatisme Islam
2.
Terbukanya iklim kebebasan beragama pasca runtuhnya rezim Orba.
Tetapi iklim kebebasan yang muncul
seiring keruntuhan rezim lama itu, juga menjadi faktor yang tidak bisa
dinafikan bagi kelompok-kelompok konservatif bahkan radikal. Akibatnya
kebebasan mengekspresikan tidak hanya terjadi pada level sosial dan teologis,
perdebatan tentang lahirnya praktek-praktek keagamaan baru juga sudah menjadi
perdebatan dalam tradisi akademis. Secara sosiologis fenomena ini sangat
mungkin dihubungkan dengan berkembangnya kebebasan berekspresi dalam beragama.
Sejumlah teoretisi seperti Gordon Melton, Peter Clarke dan Greenfield selalu
menghubungkan gejala ini dengan semangat untuk keluar dari dominasi penafsiran
dan ekspresi keagamaan kelompok tertentu atau tepatnya agama yang mainstream.[17]
Greefield mengatakan lebih jauh bahwa
kelahiran keagamaan baru itu tidak akan pernah lepas dari tradisi-tradisi agama
induk (mainstream). Hal ini dipahami sebagai sekelompok aktor (orang
dalam suatu komunitas) yang sama-sama mempunyai paradigma transcendental dalam
beragama, sebagai hasil swa-pemahaman mereka terhadap doktrin agama tertentu.
Biasanya mereka menawarkan sebuah pandangan dunia baru yang menggabungkan
elemen-elemen global dan lokal, tradisional dan inovasional serta reflektif dan
praktis.
Pendapat Murtadha Muthahhari bahwa
motivasi keterikatan manusia kepada agama ialah pendambaannya akan keadilan dan
keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia
menciptakan”agama” dan berpegang erat kepadanya demi meredakan
penderitaan-penderitaan kejiwaannya, merupakan jawaban akan munculnya
agama-agama baru di negeri ini. Dalam ke-seharian kita disebut dengan
aliran-aliran yang menyesatkan. Inilah satu sisi fenomena
jawabannya.[18]
C.
KARAKTERISTIK AGAMA MAINSTREAM (MURNI)
Agama murni (samawi) adalah agama yang turun dari langit, kata
samawi mengacu pada arti langit, diturunkan melalui wahyu, buka sekedar
kata-kata ghaib atau magis, melainkan berisi hukum dan undang-undang yang
mengatur semua tatanan hidup manusia, mulai dari masalah yang paling kecil
hingga yang paling besar. Dari masalah mikro sampai masalah makro. Agama samawi
tidak menciptakan sendiri ajarannya, tetapi menerima ajaran itu dari atas
langit. Berbeda dengan agama ardhi, dimana ajarannya memang diciptakan,
disusun, dibuat dan diolah oleh sesama makhluk penghuni bumi yaitu manusia.[19]
1.
Bukan tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat
Agama samawi tidak diciptakan oleh manusia lewat kontemplasi atau
perenungan. Berbeda dengan agama Budha, yang diciptakan oleh Sidharta Gautama.
Sang Budha konon dahulu duduk merenung di bawah pohon Bodi, lalu mendapatkan
temuan-temuan berupa nilai-nilai kehidupan, yang kemudian dijadikan sebagai
dasar agama itu.
Demikian juga, agama samawi sangat jauh berbeda dengan konsep
pengertian agama menurut beberapa ilmuwan barat, yang memandang bahwa asalkan
sudah mengandung pengabdian kepada suatu kekuatan tertentu, atau ada ajaran
tertentu, atau ada penyembahan tertentu, maka sudah bisa disebut agama.
Umumnya para ilmuwan barat cenderung menganggap sebuah aliran
kepercayaan, spiritulisme tertentu serta nilai-nilai tertentu sebagai sebuah
agama. Sementara konsep agama samawi adalah sebuah paket ajaran lengkap yang
turun dari langit. Kata samawi mengacu kepada arti langit, karena Tuhan itu ada
di atas langit menurunkan wahyu. Wahyu bukan sekedar kata-kata ghaib atau
magis, melainkan berisi hukum dan undang-undang yang mengatur semua tatanan
hidup manusia, mulai dari masalah yang paling kecil hingga yang paling besar.
Dari masalah mikro sampai masalah makro.
2.
Disampaikan oleh manusia pilihan Allah, utusan itu hanya
menyampaikan bukan menciptakan
Karena agama samawi datang dari Tuhan yang ada di langit, dan Tuhan
tidak menampakkkan diriNya secara langsung, maka agama samawi mengenal konsep
keNabi an. Fungsi dan tugas Nabi ini
adalah menyampaikan semua kemauan, perintah, aturan, syariah, undang-undang dari
Tuhan kepada umat manusia. Seorang Nabi tidak diberi wewenang untuk menciptakan ajaran
sendiri. Nabi bukan manusia setengah
dewa, maka tidak ada konsep penyembahan kepada Nabi .
Dalam konsep agama samawi, seorang Nabi hanyalah seorang manusia biasa. Dia bisa lapar
lalu makan, dia bisa haus lalu minum, dia juga bisa berhasrat kepada wanita
lalu dia menikah. Namun di balik semua sifat kemanusiaannya, seorang Nabi mendapat wahyu dari langit. Serta mendapatkan
penjagaan dan pemeliharaan dari langit agar tidak melakukan kesalahan.
Satu lagi fungsi seorang Nabi yang tidak boleh dilupakan, yaitu sosok diri
seorang Nabi dijadikan suri tauladan,
contoh hidup yang nyata, dan model untuk bisa ditiru oleh manusia.
3.
Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia
Perbedaan lainnya lagi antara agama samawi dan agama ardhi adalah
bahwa tiap agama samawi memiliki kitab suci yang turun dari langit. Kitab suci
itu datang langsung dari Tuhan, bukan hasil ciptaan manusia. Diturunkan lewat
malaikat Jibril alaihissalam, kepada para Nabi . Lalu para Nabi mengajarkan isi wahyu itu kepada umatnya.
Jadilah kumpulan wahyu itu sebagai kitab suci. Itu adalah proses turunnya
Al-Quran. Atau bisa jadi Allah SWT menurunkan kitab itu sekaligus dalam satu
penurunan, seperti yang terjadi para kitab-kitab suci yang turun kepada Bani
Israil.
Sedangkan agama ardhi seperti Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan
lainnya, meski juga punya kitab yang dianggap suci, namun bukan wahyu yang
turun dari langit. Kitab yang mereka anggap suci itu hanyalah karangan dari
para pendeta, rahib, atau pun pendiri agama itu. Bukan wahyu, bukan firman,
bukan perkataan Tuhan.
Dari sisi isi materi, umumnya kitab suci agama samawi berisi aturan
dan hukum. Kitab-kitab itu bicara tentang hukum halal dan haram. Adapun kitab
suci agama ardhi umumnya lebih banyak bicara tentang pujian, kidung, nyanyian,
penyembahan.
4.
Konsep tentang Tuhannya adalah tauhid
Kepercayaan
bangsa-bangsa di Eropa pun tidak kalah serunya terhadap konsep dewa-dewa ini.
Semua bintang di langit dianggap dewa, diberi nama dan dikait-kaitkan dengan
nasib seseorang. Kemudian ada dewa senior di gunung Olympus, Zeus namanya. Dewa
ini punya anak, setengah dewa tapi setengah manusia, Hercules namanya. Lalu
para dewa itu bertindak-tanduk seperti manusia, bahkan hewan. Ada yang perang,
ada yang berzina, ada yang mabuk-mabukan bahkan ada dewa yang kerjaannya
melacurkan diri.
Kepercayaan
bangsa Romawi kuno hingga hari ini masih saja berlangsung di masyarakat barat,
mereka masih sangat kental mempercayai adanya dewa-dewa itu.
Agama
samawi datang kenolak semua konsep Tuhan banyak dan beranak pinak. Dalam konsep
agama samawi, Tuhan hanya satu. Dia Maha Sempurna, tidak sama dengan manusia,
Maha Agung dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. Selain Tuhan yang satu,
tidak ada apa pun yang boleh disembah. Maka tidak ada paganisme (paham
kedewaaan) dalam agama samawi.
D.
KARAKTERISTIK AGAMA ARDHI
1.
Agama Diciptakan oleh Tokoh Agama
Tidak ada lagi konsep bahwa agama itu berasal dari Tuhan,
sebab para pemuka agama baik pendeta, rahib, atau pun tokoh spiritul mereka
telah mulai membuat sendiri agama itu, tambahan demi tambahan di sana sini
mulai dibuat. Pengurangan-pengurangan juga acap dilakukan. Walhasil, dalam
waktu yang singkat, agama nasrani dan yahudi sudah bukan lagi bersifat samawi,
karena nyaris sudah dipermak habis-habisan oleh para tokohnya.
Allah subhanahu wata’ala tegas sekali menyatakan
bahwa apa dilakukan oleh umat nasrani dan yahudi itu sama saja dengan menyembah
para tokoh agama.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan Al-Masih putera Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha
suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS. At-Taubah: 31)
Para tokoh agama nasrani dan yahudi dilaknat oleh Allah
karena mereka punya kebiasan mengubah isi kitab suci. Dan umat
Islam tidak terlalu diminta untuk berharap terlalu banyak dari umat nasrani dan
yahudi untuk beriman.
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya
kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka
mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (QS.
Al-Baqarah: 75)
2.
Menyembah
Nabi dan Orang Shalih
Penyimpangan berikutnya adalah umat nasrani dan yahudi
sudah tidak lagi menyembah Allah yang Esa, tetapi menambahi satu lagi sebagai Tuhan
baru (junior), yaitu Nabi mereka
sendiri.
Konsep
keNabi an agama samawi telah mereka hancurkan, diganti dengan konsep
penyembahan kepada orang suci. Maka dibuatlah patung-patung para Nabi dan orang-orang shalih. Patung itu semula
hanya sekedar untuk pengingat, namun beberapa generasi berikutnya mulai
memberikan takzhim, penghormatan hingga berakhir dengan penyembahan.
Ketika Nabi
Muhammad SAW dilahirkan di Makkah tahun
570 Masehi, di seputar ka’bah sudah bertengger 360 patung para Nabi dan orang shalih. Dari mana datangnya
patung-patung yang disembah?
Awalnya
datang dari negeri Yaman yang saat itu berpenduduk nasrani. Umat nasrani
sedunia 500-an tahun setelah ditinggalkan oleh Nabi Isa alaihissama, sudah menjadi penggemar
penyembahan patung Nabi dan orang shalih
mereka.
Dari mana datangnya penyembahan patung di kalangan umat nasrani?
Dari mana datangnya penyembahan patung di kalangan umat nasrani?
Datang
dari Eropa, ibukota dan surga para dewa sesembahan. Patung dan penyembahan
berhala datang dari Eropa para saat negeri Eropa didatangi oleh agama nasrani
yang masih bersih dari bumi Palestina.
Sayang
sekali, agama nasrani ini meski diterima di Eropa, namun nasibnya apes sekali.
Alih-alih mentauhidkan bangsa Eropa, agama ini malah diberhalakan di Eropa.
Masuklah paham keberhalaan khas Eropa dan diasimilasi di dalam agama nasrani.
Sampai 300 tahun kemudian, resmilah Nabi Isa naik pangkat menjadi Tuhan dalam pemahaman
agama ini. Lalu bunda Mariam yang di dalam Quran disebutkan sebagai wanita yang
suci dan beriman, juga ikut-ikutan dijadikan Tuhan, disembah dan dipatungkan.
Ketika
Al-Quran turun 200 tahun kemudian, vonis Allah kepada agama dan orang-orang
nasrani yang berpaham Polytheisme ini tegas dan jelas: KAFIR.
Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah ialah
Al-Masih putera Maryam", padahal Al-Masih berkata, "Hai Bani Israil,
sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun. (QS. Al-Maidah: 72)
Sesungguhnya
kafirlah orang0orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allah salah seorang dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(QS.
Al-Maidah: 73)
3.
Memalsu
Kitab Suci
Kitab
suci Injil yang asalnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala, lama kelamaan
berubah isinya menjadi karangan Petrus, Yohanes, Markus, Lukas, dan lainny.
Bukan lagi firman Allah tetapi karangan manusia.
Kitab
itu lalu diperdebatkan keotentikannya oleh mereka sendiri, maka berdirilah
sekte-sekte yang saling berbeda. Muncul aliran-aliran gereja yang saling
mengkafirkan.
Awalnya
bermula dari tidak adanya naskah asli Injil. Yang ada hanya catatan-catatan
yang tidak pernah terjaga keasliannya. Ditambah lagi ciri khas para pemuka
agama nasrani yang punya hobi membuat tambahan, sisipan, bahkan sampai
menghapus naskah asli, demi sekedar kepentingan pribadi.
Demikian
sedikit penjelasan tentang agama samawi dan agama ardhi serta malapetaka yang
menimpa pada agama samawi, yahudi dan nasrani. Adapun agama Islam, tetap kokoh,
konsisten, konsekuen dan mantap dalam karakteristiknya sebagai agama samawi.
Tidak ada penciptaan agama, tetapi agama itu datang dari Allah 100 persen,
tidak ada penambahan dan pemalsuan kitab suci, tidak pernah menyembah Nabi,
juga tidak pernah menduakan Allah.
E.
TIPOLOGI AGAMA BARU
Agama adalah fenomena sosial, agama juga tidak hanya
ritual atau hanya menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya
belaka, akan tetapi juga fenomena diluar kategori pengetahuan akademis.
Sebagian manusia mempercayai agama namun tidak melakukan ritual. Yang lain
mengaku tidak beragama namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Diluar itu
semua, kita sering menyaksikan dalam kondisi tertentu –semisal kesulitan hidup
atau tertimpa musibah—manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada
saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap
agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya.
Agama berasal dari kata latin Religio, yang berarti
Obligation atau kewajiban. Agama dalam encyclopedia of philoshopy adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunya hubungan moral dengan umat
manusia (James Martineau)[20].
Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada
alam semesta, makna dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala
sesuatu, (edward Caird)[21].
Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna
tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita, (F.H Bradley)[22].
Agama
adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan
peribadatan[23].
Pertama, agama harus dipandang sebagai pengalaman
dunia dalam individu yang mensugesti esensi pengalaman semacam kesufian, karena
kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supersensible atau kekuatan
diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal atau pribadi yang merupakan
proses psikologis seseorang[24].
Kedua, adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam
seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu
peribadatan[25].
Tidak ada satupun definisi tentang agama
(religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog,
psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian
filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical
notion. Sebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion
sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx
mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian
Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex surrounding a
projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasan tegas mengenai agama/religion
yang mencakup berbagai fenomena religion[26].
Menurut Oxford English
Dictionary, religion represent the human recognition of super human
controlling power and especially of a personal God or Gods entitle to obedience
and worship, agama menghadirkan manusia yang kehidupannya dikontrol oleh
sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan
menyembahnya.
Dari penjelasan diatas
tentang beberapa definisi agama telah meyakinkan kita bahwa agama adalah sebuah
kepercayaan, ada yang dianut dan ada yang menganut. Di dalam Islam sendiri
telah beragam kepercayaan yang mengatasnamakan Islam dan berkiblat kepada Al-Quran,
salah satunya (agama/aliran) Muhammadiyah, Nu, Ahmadiyah, Lia Eden, dll. Namun,
agama 2 terakhir disini menimbulkan kontroversi, sehingga dilabeli agama sesat.
Berikut dibawah akan kami ulas tentang tipologi dari masing-masing agama baru
yang muncul dari akar yang sama yakni Islam.
1.
Ahmadiyah
Ahmadiyah
adalah gerakan yang lahir pada tahun 1900, yang dibentuk olehpemerintah
kolonial Inggris di India. Didirikan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agama
Islam dan dari kewajiban jihad dengan gambaran atau bentuk khusus sehingga
tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajahan dengan nama Islam. Gerakan
ini dibangun oleh Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani. Corong gerakan ini adalah
Majalah Al-Adyan yang diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Mirza Ghulam
Ahmad hidup pada tahun 1835-1908. Dia dilahirkan di Desa Qadian, di wilayah
Punjab, India, tahun 1835. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat
kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan dan
senantiasa menaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum
muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian
dari jihad melawan penjajahan Inggris. Oleh pengikutnya, dia dikenal sebagai
orang yang suka menghasut atau berbohong, berpenyakit dan pencandu narkotik.
Pemerintah
koloni Inggris banyak berbuat baik kepada mereka sehingga dia dan pengikutnya
pun memperlihatkan loyalitas kepada Pemerintah koloni Inggris. Di antara yang
melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin
Jami’ah Ahlul Hadis di India. Beliau mendebat dan mematahkan hujjah Mirza Ghulam
Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan
pengakuannya.
Ketika Mirza
Ghulam Ahmad masih juga belum kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abul
Wafa’ mengajaknya ber-mubahalah (berdoa bersama) agar Allah mematikan
siapa yang berdusta di antara mereka dan yang benar tetap hidup. Tidak lama
setelah, Mirza Ghulam Ahmad menemui ajalnya tahun 1908.
Pada awalnya,
Mirza Ghulam Ahmad berdakwah sebagaimana para dai Islam yang lain sehingga
berkumpul di sekelilingnya orang-orang yang mendukungnya. Selanjutnya dia
mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembaru). Pada tahap
berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi Al-Muntazhar dan Masih Al-Maud.
Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih
tinggi dan agung dari kenabian Nabi Muhammad SAW.[27]
2.
Lia Eden
Lia Eden
kembali berurusan dengan aparat kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik
agama. Nah bagi anda yang mungkin saja belum tahu siapa Lia Eden yang membuat
fenomena tersebut kami akan memberikan sekilas biografi Lia Eden. Lia Aminuddin atau
lebih dikenal sebagai Lia Eden lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 21 Agustus
1947 adalah pemimpin kelompok kepercayaan bernama Kaum Eden yang kontroversial.
Ibunya bernama Zainab, dan bapaknya bernama Abdul Ghaffar Gustaman, seorang
pedagang dan pengkhutbah Islam aliran Muhammadiyah. Pada umur 19 tahun, Lia
menikah dengan Aminuddin Day, seorang dosen di Universitas Indonesia dan
dikaruniai empat orang anak.
Pada awalnya dia
adalah seorang ibu rumah tangga yang menempuh pendidikan hanya sampai jenjang
SMA dan sebelumnya mempunyai profesi sebagai perangkai bunga bahkan pernah
mempunyai acara tampilan khusus mengenai merangkai bunga di TVRI.
Pengakuan Bertemu dengan Malaikat Jibril
Pengakuan Bertemu dengan Malaikat Jibril
Menurut Lia,
peristiwa ajaibnya yang pertama adalah sewaktu dia melihat sebuah bola
bercahaya kuning berputar di udara dan lenyap sewaktu baru saja ada di atas
kepalanya. Hal ini terjadi sewaktu dia sedang bersantai dengan kakak mertuanya
di serambi rumahnya di Senin pada 1974.
Menurutnya lagi,
peristiwa ajaib kedua yang telah megubah prinsip hidupnya berlaku pada malam 27
Oktober 1995 kala dia sedang sholat. Pada masa itu, dia telah merasakan
kehadiran pemimpin rohaninya, Habib al-Huda yang mengaku dirinya sebagai Jibril
pada waktu itu. Setelah itu Lia Eden mengaku dia menerima bimbingan
Malaikat Jibril secara terus menerus sejak 1997 hingga kini.
Selama dalam proses
pembimbingan itu, ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril menyucikan dan mendidik
Lia Eden melalui ujian-ujian sehari-hari yang sangat berat, termasuk
pengakuan-pengakuan kontroversial yang harus dinyatakannya kepada masyarakat
atas perintah Jibril. Proses penyucian itu menurut ia sangat berat dan
tak pernah berhenti hingga kemudian Tuhan memberinya nama Lia Eden sebagai
pengganti namanya yang lama. Di dalam penyuciannya, ia mengatakan bahwa Tuhan
menyatakan Lia Eden sebagai pasangan Jibril sebagaimana ditulis di dalam
kitab-kitab suci sebelumnya. Dan ia
mengatakan bahwa dialah yang dinyatakan Tuhan sebagai sosok surgawi-Nya di
dunia.
Pencetus
agama baru
Selain menganggap dirinya sebagai menyebarkan wahyu Tuhan dengan
perantaraan Jibril, dia juga menganggap dirinya memiliki kemampuan untuk
menyembuhkan penyakit. Dia juga telah mengarang lagu, syair dan juga buku
sebanyak 232 halaman berjudul, "Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah
Takdir" yang ditulis dalam waktu 29 hari.
Pada 1998, Lia menyebut dirinya Imam Mahdi yang muncul di dunia
sebelum hari kiamat untuk membawa keamanan dan keadilan di dunia. Selain itu,
dia juga memanggil dirinya Bunda Maria, ibu dari Yesus Kristus. Lia juga
mengatakan bahwa anaknya, Ahmad Mukti, adalah Yesus Kristus.
Agama yang dibawa oleh Lia ini berhasil mendapat kurang lebih
100 penganut pada awal diajarkannya. Penganut agama ini terdiri dari para pakar
budaya, golongan cendekiawan, artis musik, drama dan juga pelajar. Mereka semua
dibaptis sebagai pengikut agama Salamullah. Karena Lia merupakan seorang
penulis dan pendakwah yang handal, maka ia bisa meyakinkan orang mengenai kebenaran
dakwahnya.
Pada bulan Desember 1997, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
melarang perkumpulan Salamullah ini karena ajarannya dianggap telah
menyelewengkan kebenaran mengenai ajaran Islam. Kumpulan ini lalu membalas
balik dengan mengeluarkan "Undang-undang Jibril" (Gabriel's edict)
yang mengutuk MUI karena menganggap MUI berlaku tidak adil dan telah menghakimi
mereka dengan sewenang-wenang.
Kumpulan Salamullah
ini juga terkenal karena serangannya terhadap kepercayaan masyarakat Jawa,
mengenai mitos Nyi Roro Kidul yang didewakan sebagai Ratu Laut Selatan. Pada
tahun 2000, agama Salamullah ini diresmikan oleh pengikut-pengikutnya sebagai
sebuah agama baru. Agama Salamullah mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
nabi yang terakhir tetapi juga mempercayai bahwa pembawa kepercayaan yang lain
seperti Buddha Gautama, Yesus Kristus, dan Kwan Im, dewi pembawa rahmat yang
disembah orang Tionghoa, akan muncul kembali di dunia.
Sejak 2003, kumpulan Salamullah ini memegang kepercayaan bahwa
setiap agama adalah benar adanya. Kumpulan yang diketuai Lia Eden ini kini
dikenal sebagai Kaum Eden[28].
3.
Nahdlatul Ulama` (NU)
Pelarangan terhadap
tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan
menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting. Tidak mengherankan, kaum
pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik
tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk
ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres
itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian,
Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan
menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis
tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto
(SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum
pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni
pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan
Abdullah Ahmad. Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika
Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha
melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis
paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur
agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab
dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite
Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk
menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar,
komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan
nama Nahdlatoel ‘Oelama[29]
4.
Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November
(18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah
kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan
perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh
seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Muhammadiyah kata
”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan
jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud
untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan
asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia
sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar
itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada
umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal
berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan
amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi
pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang
kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di
Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru
Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta
interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para
pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri
Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
[1] Syafa’at, Mengapa
Anda Beragama Islam, Wijaya, Jakarta, 1965, hal. 20
[2] Taib Thahir
Abdul Muin, Ilmu Kalam II, Pen. Widjaja, Jkaarta, 1973, hal. 5
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid 3, Universitas
Indonesia,
Jakarta, 1985, hal. 5
[4] Prof. Dr. h. Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan
Kepribadian Nasional, Yayasan An-
Nida’,
Yogyakarta, 1969, hal. 9
[5] Badan
Penerbitan Filsafat UGM, Integrasi Ilmu dan Agama: Perspektif Filsafat Mulla
Sadra, Yogyakarta: Kahfi Offset, 2010, hal. 34
[6]Ian G. Barbour,
Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama, Bandung: Mizan, 2002, hal. 40
[7] Ibid, hal.
47-50
[9] Ibid,
hal. 54
[10] Ibid,
hal. 56
[11] Ibid, hal. 58
1986,
hal. 45
[17]Pradana Boy
ZTF, Agama Baru dan Kebebasan
Beragama, Artikel, 1408, 2006
[18]Murtadha Muthahhari, Op Cit, hal. 65
[20] Jalaluddin
rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Mizan 2004. Hal 50.
[21] Ibid, hal 51.
[22] Ibid, hal 50
[24] Ibid, hal 17
[25] Ibid, hal 17
[27]
http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819/Ahmadiyah.Islam.atau.Bukan
[29] http://id.shvoong.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar